Sabtu, 30 Oktober 2010

review jurnal kelompok

Review Jurnal Konflik Kelompok

ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL

DI KALIMANTAN BARAT

Maria Lamria

LATAR BELAKANG

Mengingat begitu beragamnya latar belakang dan tingkat sosial masyarakat, maka persoalan hak dan kewajiban senantiasa muncul menjadi konflik sosial yang berkepanjangan dan terjadi di berbagai daerah. Konflik yang menggunakan simbol etnis, agama dan ras muncul yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta bagi pihak yang bertikai. Hal ini terjadi jika dalam hubungan tersebut terjadinya suatu kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran serta kekuasaan yang tidak seimbang. Kepentingan dan keinginan-keinginan yang tidak lagi harmonis akan membawa masalah dalam hubungan antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya.

Kerusuhan dan pertikaian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah dalam mengatasi penyebab terjadinya konflik sosial antar masyarakat. Konflik muncul dengan menggunakan simbol-simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini kemungkinan terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat. Seperti halnya konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat, kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan aparat hukum terhadap Suku Asli Dayak dan Suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam yang meledak dalam bentuk konflik-konflik horizontal. Masyarakat Dayak yang termarjinalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif yang mengeksploitasi kekayaan alam mereka. Sementara penegakan hukum terhadap salah satu kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya.

TUJUAN PENELITIAN

Dari penelitian diharapkan dapat diketahui apa penyebab dan upaya penanganan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat terhadap konflik yang terjadi, sehingga dapat tercipta kedamaian bagi masyarakat di daerah Kalimantan Barat.

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui penyebab dan upaya penanganan terhadap terjadinya konflik horizontal adalah studi kepustakaan berupa penelaahan buku, makalah dan bentuk tulisan lainnya yang mendukung tujuan penelitian. Data dan informasi yang didapat kemudian diolah dengan pendekatan kualitatif yang dilakukan pada pada bulan Juli 2004.

KERANGKA TEORI

Pada negara yang memiliki keragaman suku bangsa masalah antar suku merupakan hal yang seringkali muncul. Demikian juga Indonesia, dalam hal ini yang dapat dijadikan suatu gambaran adalah konflik antar etnis di Kalimantan Barat. Konflik yang timbul antara Suku Dayak dan Madura. Kehidupan bermasyarakat Suku Dayak dam Madura memang seringkali banyak mengalami pergesekan karena kurangnya pemahaman antar budaya dari kedua belah pihak.

Untuk penelitian kasus yang terjadi antara kedua suku ini akan digunakan teori konflik Simon Fisher dan Deka Ibrahim dkk (Th. 2002).

Teori Kebutuhan Manusia : “berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia- fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau yang dihalangi”.

Teori Identitas : “berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh karena identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan dimasa lalu yang tidak terselesaikan”.

ANALISA PENYEBAB KONFLIK DAYAK DAN MADURA

Kebudayaan yang berbeda seringkali dijadikan dasar penyebab timbulnya suatu konflik pada masyarakat yang berbeda sosial budaya. Demikian juga yang terjadi pada konflik Dayak dan Madura yang terjadi pada akhir tahun 1996 yaitu terjadinya kasus Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang (sebelum pertengahan tahun 1999 termasuk Kabupaten Sambas), di Kalimantan Barat. Dalam berkomunikasi penduduk yang heterogen ini menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi karena tingkat pendidikan mereka rendah, kebanyakan mereka memakai bahasa daerahnya masing-masing. Dengan demikian seringkali ditemui kesalahpahaman di antara mereka. Hukum adat memegang peranan penting bagi orang Dayak. Perilaku dan tindakan masyarakat pendatang khususnya orang Madura menimbulkan sentimen sendiri bagi orang Dayak yang menganggap mereka sebagai penjarah tanah mereka. Ditambah lagi dengan keberhasilan dan kerja keras orang Madura menelola tanah dan menjadikan mereka sukses dalam bisnis pertanian.

Kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi merupakan dasar dari munculnya suatu konflik. Masyarakat Dayak juga mempunyai suatu ciri yang dominan dalam mata pencarian yaitu kebanyakan bergantung pada kehidupan bertani atau berladang. Perilaku orang Madura terhadap orang Dayak dan keserakahan mereka yang telah menguras dan merusak alamnya menjadi salah satu dasar pemicu timbulnya konflik diantara mereka. Ketidakcocokan di antara karakter mereka menjadikan hubungan kedua etnis ini mudah menjadi suatu konflik. Ditambah lagi dengan tidak adanya pemahaman dari kedua etnis terhadap latar belakang sosial budaya masing-masing etnis. Ketidakadilan juga dirasakan oleh masyarakat Dayak terhadap aparat keamanan yang tidak berlaku adil terhadap orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum. Permintaan mereka untuk menghukum orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum tidak diperhatikan oleh aparat penegak hukum. Hal ini pada akhirnya orang Dayak melakukan kekerasan langsung terhadap orang Madura, yaitu dengan penghancuran dan pembakaran pemukiman orang Madura.

Selanjutnya Simon Fisher dkk, mengajukan suatu konsep tentang arti kekerasan sebagai suatu pendekatan dalam intervensi konflik yang menyebutkan bahwa konflik adalah fakta kehidupan yang dapat memunculkan permasalahanpermasalahan berat saat kekerasan muncul dalam konflik tersebut. Oleh karenanya dapat dibedakan antara kelompok yang menghendaki kekerasan sebagai penyelesaian konflik dan kelompok yang anti kekerasan.

Menganalisa lebih lanjut tentang konflik horizontal yang terjadi pada beberapa wilayah di Indonesia, seperti konflik Dayak dan Madura dihubungkan dengan teori Simon Fisher, dapat dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat di daerah konflik cenderung memilih jalan kekerasan sebagai alternatif penyelesaian masalah yang muncul di antara mereka. Mereka menganggap cara ini lebih membuat pihak lawan memenuhi keinginan mereka.

Menyimak lebih jauh tentang konflik horizontal yang juga disebut sebagai konflik etnis yang bersifat laten (tersembunyi) yang harus diangkat ke permukaan agar dapat ditangani secara efektif. Konflik yang dipicu oleh persoalan yang sederhana, menjadi kerusuhan dan di identifikasi pemicu pecahnya konflik adalah : adanya benturan budaya etnis lokal dengan etnis pendatang, lemahnya supremasi hukum, adanya tindak kekerasan. Benturan budaya ini sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh kesombongan dan ketidakpedulian etnis Madura terhadap hukum adat dan budaya lokal yang sangat dihormati masyarakat setempat seperti hak atas kepemilikan tanah.

PENANGANAN YANG DILAKUKAN

Lemahnya supremasi hukum terlihat dari perlakuan yang ringan diberikan pada masyarakat Madura. Dalam hal ini untuk menghindari keadaan yang lebih tidak terkendali lagi seperti terjadinya tindakan kekerasan, pembunuhan, pembakaran dan pengusiran yang berkepanjangan, maka untuk sementara waktu orang Dayak menyatakan sikap yaitu :

1. Untuk etnis Madura yang masih berada di wilayah Kalimantan Barat agar secepatnya dikeluarkan atau diungsikan demi keselamatan dan keamanan mereka.

2. Menolak pengembalian pengungsi etnis Madura untuk batas waktu yang tidak ditentukan.

Sikap ini ditanggapi positif oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat karena adanya keterbatasan aparat yang tidak dapat menjangkau seluruh wilayah Propinsi Kalimantan, maka demi keamanan kedua belah pihak untuk sementara suku Madura harus dilokalisir pada daerah yang lebih aman. Selain itu dalam upaya penanganan konflik yang terjadi ini dilakukan juga beberapa cara yaitu :

1. Untuk sementara waktu, etnis Dayak dan Melayu sepakat tidak menerima kembali etnis Madura di bumi Kalimantan terutama di daerah konflik.

2. Rehabilitasi bangunan infrastruktur masyarakat umum agar dapat berjalannya kegiatan masyarakat sebagaimana mestinya. Moral dan mental masyarakat juga perlu mendapat perhatian dan pembinaan agar terwujud suatu rekonsiliasi yang damai dan melibatkan kembali seluruh tokoh masyarakat;

3. Re-evakuasi dilakukan bagi korban konflik ke daerah yang lebih aman.

4. Dialog antar etnis yang berkesinambungan dengan memanfaatkan lembaga adat masyarakat perlu dilakukan dalam proses pembentukan kerjasama mengakhiri konflik yang berkepanjangan;

5. Penegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum perlu dilakukan secara konsisten dan adil tanpa berpihak pada etnis tertentu selain itu kemampuan personil petugas keamanan perlu ditingkatkan.

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadi konflik adalah kurangnya pemahaman terhadap sosial budaya masing-masing suku yang berbeda antara suku Dayak dan Madura. Selain itu kurang diperhatikannya peranan masyarakat setempat dalam kegiatan perekonomian di wilayah mereka, sehingga timbul diskriminasi terhadap suku Dayak sebagai suku Asli setempat. Selain itu dalam sejarah konflik di Kalimantan secara umum dipicu oleh dipraktekkannya tindak kekerasan baik dalam bentuk penganiayaan dan pembunuhan manusia di daerah konflik. Hal ini didukung juga dengan lemahnya supremasi hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Alqadarie Syarief I. (2000). Laporan Akhir Hasil Penelitian Pertikaian antar Komunitas Madura Kalimantan Barat dengan Dayak 1996/97 dan antara Komunitas Madura Sambas dengan Melayu Sambas Tahun 1998/1999 di Kalimantan Barat. Kerjasama Yayasan Ilmu-ilmu Sosial Jakarta-dengan Fisipol Untan-Pontianak.

Fisher Simon, Ibrahim Dekka, dkk. (2002) “Working with conflict’ : Skill & Strategies for Action. New York.Responding To Conflict.

Jurnal Hukum dan Pemikiran Nomor I, Tahun 2 Januari- Juni 2002.

Laporan Khusus Gubernur Kalimantan Barat 1997.

Soekanto Soeryono; 1990. Suatu Pengantar. Raja Wali Press, Jakarta.

Sunaryo Thomas. “Manajemen Konflik dan Kekerasan”. Makalah pada Sarasehan tentang Antisipasi Kerawanan Sosial di DKI Tanggal 15-17 September 2002.

DINAMIKA KONFLIK ETNIS DAN AGAMA

DI LIMA WILAYAH KONFLIK INDONESIA

Rusmin Tumanggor

Jaenal Aripin dan Imam Soeyoeti

LATAR BELAKANG

Selama berabad-abad sampai masa Orde Baru, suku bangsa dan penganut agama di Indonesia umumnya hidup rukun tanpa benturan yang berarti. Tiba-tiba pada masa reformasi, konflik kesukubangsaan, agama, pelapisan masyarakat, sepertinya ikut mengusik kerukunan. Hal ini ditandai dengan munculnya konflik horizontal yang melibatkan agama dan suku/etnis di beberapa wilayah Indonesia, seperti; Kalimantan Barat dan Tengah, Sulawesi Tengah, Maluku Selatan dan Utara, serta daerah-daerah lainnya

Fokus penelitian ini adalah untuk menjaring konsepsi berbagai etnis, agama, dan pelapisan masyarakat tentang konflik dan kedamaian, termasuk konsepsi mereka tentang hak dan kewajiban pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai payung bagi seluruh etnis, agama, dan pelapisan masyarakat. Hal ini berdasarkan hipotesis bahwa; kerusuhan di berbagai wilayah tanah air dalam persepsi berbagai etnis, agama, dan pelapisan masyarakat berhubungan dengan kesenjangan sosial ekonomi, keagamaan, perilaku antaretnis, kurangnya peran lembaga sosial pemerintah, keberpihakan aparat dalam menyelesaikan kerusuhan, di sisi lain keikutsertaan mereka memicu kerusuhan itu . Untuk menguji hipotesis ini, teori yang digunakan adalah; teori fungsional Talcott Parsons, teori konflik Dahrendrof kebalikan teori kohesi Malinowski, dan teori kebudayaan dominant Parsudi Suparlan.

Teori fungsional Talcot Parson: Tertib sosial ditentukan hubungan timbal balik antara sistem-sistem kebudayaan, sosial dan kepribadian. Teori Dahrendorf menyatakan konflik sebagai kegalauan yang bersumber dari ketidakserasian esensi bermacam komponen kehidupan. Kebalikannya adalah teori kohesi dari Malinowski: Keutuhan akan terjadi bila satu wilayah kehidupan dilandasi secara kuat oleh keuntungan timbal balik reciprocity dibawah prinsip-rinsip legal. Selanjutnya Teori kebudayaan dominan dari Edwar Bruner diketengahkan Parsudi Suparlan: Kemampuan penyesuaian terhadap kebudayaan yang telah mapan.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan di kawasan rusuh maupun yang aman mulai dan sesudah Mei 1998 serta menganalisa kondisi dan kontribusi Pemerintah Pusat ke Daerah dalam hal tersebut. Penelitian ini diadakan di lima wilayah, yakni; Sambas (Kalimantan Barat), Sampit (Kalimantan Tengah), Poso (Sulawesi Tengah), Ambon (Maluku Selatan ), dan Ternate (Maluku Utara).

Data yang dicari meliputi pendapat, kesaksian, dokumen, tulisan tentang etnis serta agama masyarakat pembauran lintas etnis dan agama tersebut. Dilakukan dengan menggunakan tehnik wawancara mendalam, sementara dokumen dan tulisan tentang etnis dilakukan dengan observasi dan analisa kritis.

Informan terdiri dari tokoh-tokoh adat, pemuka agama, cerdik pandai, warga masyarakat biasa, pemda setempat, pihak keamanan, pengurus pemuda di samping organisasi berbagai etnis dan agama yang ada di kawasan tersebut. Seluruhnya berjumlah 50 orang

Masing-masing wilayah memiliki beberapa agama, suku, mata pencaharian dan world view yang berbeda. Khusus dari kedua kawasan yang berbeda keamanannya ini diupayakan kiat kunci world view masing-masing sehingga terjawab sumber konflik dan sebaliknya modal kedamaian sosial di kawasan itu. Data dikumpul lewat kuesioner dan didukung interview terhadap 400 responden yang akhirnya mengembalikan jawaban sebanyak 382 orang. Data yang dikumpulkan meliputi data esensi dan substantif. Karena itu pendekatan datanya adalah kualitatif. Namun demikian diawali dengan pengumpulan data kuantitatif untuk mendapatkan data jaringan fenomena yang saling terkait serta memudahkan secara sistematis melacak data kualitatif. Pendekatan sumber datanya adalah emic (Idea yang tumbuh dari pendukung kehidupan etnis serta agama yang hidup di kawasan itu). Adapun etic (pemikiran analisa kritis akademisi dan cendekiawan) hanya akan digunakan pada tingkat kajian teoritis dan model implementasi.

HASIL PENELITIAN

Latar Belakang dan Penyebab Terjadinya Konflik

Pada umumnya konflik di kelima wilayah itu terjadi akibat distribusi baik ekonomi, sosial dan politik yang dianggap tidak adil bertepatan dengan perbedaan identitas. Sesuai data yang berhasil dihimpun peneliti mengatakan dimana menurut responden, umumnya konflik yang terjadi sangat kuat dipengaruhi oleh isu identitas (etnis dan agama) dan isu distribusi. Sebesar 26,4% responden di lima wilayah konflik menyatakan bahwa penyebab konflik dan keretakan hubungan antar warga adalah karena perbuatan atau sikap kelompok identitas (etnis/agama) tertentu yang menyinggung harga diri dan rasa keadilan kelompok identitas (etnis/agama) lainnya. Penghinaan atas keyakinan (agama) dan suku tertentu juga menjadi penyebab konflik yang cukup dominan, terlihat dari jawaban responden sebesar 19,4 % dan 16,5%. Sementara itu, penguasaan lapangan pekerjaan juga turut menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya konflik, sebesar 15,6%.

Dalam kenyataan di lapangan, faktor-faktor identitas yang meliputi etnis dan agama ini bercampur dengan konflik atas pendistribusian sumber daya seperti, wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja dan seterusnya. Dalam kasus-kasus dimana identitas dan isu distributif dibaurkan, menciptakan peluang kesempatan bagi para oportunis untuk semakin mempertinggi eskalasi konflik. Inilah yang tercermin dari pendapat sebagian responden sebesar 4% yang menyatakan bahwa konflik di lima wilayah ini akibat ulah provokator.

Fenomena dan Dampak Konflik

Realita konflik di lapangan adalah munculnya kerusuhan, saling hasut-menghasut, caci-maki, menyiksa, mencederai, memperkosa, membunuh secara sadis atau penuh pertentangan bathin, membakar, merampas hak milik orang lain, mengusir, penghilangan dokumen-dokumen penting, membakar, dll. Konflik yang berkepanjangan selalu menyisakan ironi dan tragedi. Sebesar 15% responden menyatakan bahwa dampak konflik adalah jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar, 11,4 % menyatakan kehilangan pekerjaan, 11,6% menyatakan konflik telah membuat mereka yang tadinya akur dan rukun terpaksa harus saling berkelahi karena perbedaan identitas, bahkan 12,4% menyatakan bahwa perkelahian dan konflik tersebut mengakibatkan putusnya hubungan kekeluargaan diantara mereka yang secara kebetulan berbeda identitas etnis atau agama. Kerugian materiil, berupa kerusakan sarana ibadah dan sarana pendidikan masing-masing diutarakan oleh 9,8% dan 7,8% resoponden. Dampak terbesar dari konflik yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius, justru adalah pada aspek psiko-sosial masyarakat. Yaitu sebesar 16,7% responden menyatakan konflik telah membuat mereka selalu dihinggapi rasa takut dan merasa selalu tidak aman. Akibatnya, diantara kelompok-kelompok masyarakat timbul rasa saling curiga dan mengikis rasa keper cayaan diantara warga masyarakat (distrust), dinyatakan oleh 15% responden.

Cara Penanganan Konflik

Di sinilah justru kelemahan dari upaya penanganan yang selama ini sudah dilakukan pemerintah. Dimana pola penanganan konflik di tiap wilayah cenderung diseragamkan . Hal tersebut terlihat dari respon masyarakat yang menyatakan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah selain memberikan bantuan fisik materiil, seperti sembako, atau tempat penampungan hanya berkisar pada fasilitasi dialog (diutarakan oleh 46,3% responden), penjagaan oleh aparat keamanan (34,4%) dan sosialisasi perdamaian (19,2%).

Dalam konteks teori-teori penanganan konflik yang dikemukakan Bloomfield, Ben Rielly, Charles Nupen, Pieter Haris yang telah dikutipkan terdahulu, maka respon masyarakat di lima wilayah konflik terhadap cara penyeleaian konflik yang mereka alami sungguh relevan dengan paradigma penanganan konflik mutakhir itu, dimana sebagian besar responden 73,2% meny atakan agar penyelesaian konflik dilakukan sendiri oleh masyarakat di masing-masing desa dengan melibatkan para tokoh agama, adat, etnis dan berbagai pemuka dan komponen masyarakat yang kompeten. Disusul kemudian 13% menginginkan agar penyelesaian konflik dilakukan di rumah ibadah saja, dengan difasilitasi oleh para pemuka agama. Hanya 7,5% saja yang menginginkan agar konflik diselesaikan di kantor polisi serta 5,7% saja yang menyatakan agar diselesaikan di pengadilan.

Untuk mempercepat proses penanganan konflik tersebut, maka warga masyarakat daerah konflik mengusulkan agar masing-masing pihak bisa lebih mengembangkan sikap saling menghargai, diutarakan oleh 27,6% responden. Selain itu juga harus dikembangkan sikap tenggang rasa (18,5%), bersedia untuk berbaur dan tidak mengelompok secara eksklusif (16,6%), serta mau bergotong (15,5%).

Modal Sosial yang Dimiliki

Data yang dihimpun peneliti menunjukkan bahwa masyarakat di lima wilayah konflik umumnya masih memilki modal sosial yang cukup memadai untuk mengelola konflik mereka. Karena umumnya mereka, 16,9 % menganggap perlunya saling pengertian, 14,5% menyatakan agar masing-masing kelompok etnis/agama harus saling menghormati, 8,8% memandang saling menolong masih menjadi modal sosial yang dimiliki. Data-data tersebut diperkuat oleh berbagai sikap masyarakat yang mencerminkan keterbukaan dan kesediaan mereka untuk lebih erat melakukan interaksi sosial dan budaya. Dalam masalah perkawinan antar suku (termasuk suku yang bertikai) misalnya, 83,8% menyatakan setuju. Demikian juga dalam hal penataan rumah antar warga yang bertikai, umu mnya (72,1%) tidak menyetujui jika dipisahkan secara diametral sesuai dengan suku/agama masing-masing, karena hal tersebut justru akan semakin memperdalam jurang perbedaan diantara mereka. Demikian pula halnya dengan penyediaan sekolah khusus untuk penganut agama/suku tertentu, sebanyak 67,9% menyatakan keberatannya. Intinya, mereka sesungguhnya tidak pernah menginginkan terjadinya pemisahan dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan publik (umum).

KRITIK TEORITIS

a) Ketepatan Hipotesis

Berdasarkan temuan dilapangan dengan hipotesis yang diungkapkan umumnya terbukti. Kerusuhan Sambas dan Sampit dinyatakan lebih pada perilaku salah satu etnis pendatang yang kurang bisa menyesuaikan diri (adjustment) terhadap budaya dominan dalam keseharianan maupun dalam upaya pemilikan. Kerusuhan Ambon, Ternate dan Poso lebih pada persaingan peluang menguasai pasar. Sambas dan Sampit tentang pemilikan lahan pertanian, perkebunan serta bisnis di satu sisi, keinginan untuk mensiasati kekuatan sesuatu agama di sisi lain, perebutan kekuasaan eksekutif di satu dimensi. Keterlambatan koordinasi dan penghimpunan pelbagai sumberdaya oleh pihak eksekutif, legislatif, judikatif dan hankam dalam mencegah perluasan konflik, menengarai kerusuhan yang sedang terjadi serta mengatasi dampak kerusuhan dari konflik. Terjadinya pemihakan aparat pemerintah dan keamanan yang se-kerabat, se-etnis dan se-agama dengan pihak-pihak yang bertikai. Termasuk upaya sebahagian aparat keamanan melakukan tindak an anarkis yang semakin memicu kerusuhan lintas etnis dan agama. Tidak kurang pentingnya adalah adanya data yang menunjukan upaya orang-orang tertentu melalui komunikasi di tempat-tempat tertentu (kedai kopi, pasar, pertandangan, berbagai kesempatan pertemuan) meyakinkan rakyat bahwa masa rezim Orde Baru adalah pemerintahan yang sangat baik dan fase reformasi adalah pemerintahan yang kacau. Di sisi lain nampaknya konflik yang berdampak kerusuhan ini merupakan bahagian dari skenario konspirasi besar pihak-pihak luar negeri untuk menghancurkan tatanan bangsa ini dari segi keutuhan (kohesi), stabilitas ekonomi dan pembenturan rakyat dengan TNI-Birokrasi. Ini terlihat juga dari yel-yel yang dielu-elukan pihak-pihak yang berkonflik khususnya di Ambon, Ternate dan Poso, antara lain Hidup Amerika!, Hidup Australia!, Hidup Belanda!.

b) Teori Temuan

Berlakunya teori fungsional dari Talcott Parson karena konflik yang terjadi selama ini karena longgarnya ikatan system-sistem yang ada. Ada 4 komponen yang sudah longgar di wilayah rusuh: (1). Nilai-nilai dasar yang dianut masing-masing warga etnis, tidak proporsional memasuki kebudayaan; (2). Status dan hak pribadi tidak terjamin; (3). Prestise dijatuhkan; (4). Pemilikan dan pencaharian tidak terjamin.

Teori integrasi beresensi kohesi sosial tidak terjamin di lapangan penelitian karena: pertama, tidak diupayakan proporsi yang cukup dari setiap komponen aktor-aktor bisa bertindak sesuai dengan syarat-syarat keutuhan; kedua, Pembiaran pola-pola kebudayaan yang salah satunya gagal dalam menemukan suatu tata tertib yang minimal dan dengan permisif itu menimbulkan penyimpangan dan pertentangan Teori Malinowski tentang konflik akan terjadi jika dari berbagai pihak yang dipertemukan dalam satu wilayah kehidupan tidak dilandasi secara kuat oleh keuntungan timbal balik recipro city dibawah prinsip-rinsip legal. Dari temuan menunjukkan kebenaran ini, karena prinsip reciprositas dan legalitas hampir tidak jelas fungsinya. Model Kebudayaan Dominan yang dikembangkan Edwar Bruner dan digunakan Parsudi Suparlan menganalisis kasus-kasus Bandung, Ambon dan Sambas. Dinyatakannya: Adanya perbedaan dalam strategi beradaptasi orang Jawa di Bandung dengan strategi adaptasi orang Buton, Bugis dan Makassar (BBM) di Ambon, serta orang Madura di Sambas memperlihatkan mengapa konflik-konflik dapat muncul di kedua daerah terakhir. Dengan kata lain, aturan-aturan dalam kehidupan sosial yang bersumber pada kebudayaan dominan masyarakat setempat tidak diikuti oleh para pendatang dari Buton, Bugis, Makassar dan Madura.

Teori ini juga menunjukkan kebenarannya. Berarti proposisi yang diiringi premis-premis pendukung teori Talcott Parson, Malinowski serta Edwar Bruner yang diperkuat Parsudi Suparlan, terbukti di wilayah penelitian sekalipun proporsinya tidak terlalu berimbang untuk setiap wilayah. Akan tetapi kelemahan teori-teori ini seolah-olah memperlihatkan kedinamisan ide dan aktivitas masing-masing etnis dan agama di masing-masing lokal saja secara horizontal dan vertikal yang menyulut konflik. Padahal di seluruh wilayah penelitian keadaan itu hanya bersifat laten dan labil. Sementara yang berperan adalah pihak provokasi politisi yang menyentuh wilayah pemerintahan dan keamanan, pihak luar baik masih dari dalam negeri maupun pihak asing.

KESIMPULAN

Konflik yang terjadi yang berwujud wilayah rusuh di Indonesia merupakan akumulasi dari kerapuhan persatuan dan kesatuan warga masyarakat heterogen dalam satuan-satuan wilayah kebudayaan dengan kepentingan konspirasi kelompok-kelompok tertentu di dalam negeri serta pihak asing. Kepentingan itu dilaterbelakangi tujuan politik, ekonomi dan agama. Upaya itu tidak mencapai sasaran puncak karena ditingkat elit dan pelaksana pihak keamanan dan birokrasi mayoritas masih komit dengan negara kesatuan sehingga serius memperkecil zona konflik dan kefatalan pelbagai dampaknya. Masyarakat dari berbagai suku dan agama juga tidak memiliki basic yang kuat memasuki kancah konflik bahkan sebaliknya dari semula sudah terbiasa hidup rukun dan damai dalam pelbagai perbedaan. Namun begitu karena masyarakat telah semakin berpendidikan dan cerdas, ditambah dengan nuansa reformasi secara mencuatnya konsep HAM, mereka menginginkan agar pelbagai pihak yang terkait dengan pembangunan kehidupan mereka, seyogyanya mengikutsertakannya dalam merancang program itu sehingga sesuai sasaran.

DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra (Editor) .1998. Agama Dalam Keragaman Etnik Di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Agama Departemen Agama RI.

Achmadi Jayaputra dan Setyo Sumarno. 2000. Permasalahan Sosial Korban Kerusuhan Di Propinsi Sumawesi Tenggara, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Badan Kesejahteraan Sosial Nasional

Bohm, RP. C.J. Fatlolon, Dkn Costan, Fr. Pr (Ed.). 2002 Lintasan Peristiwa Kerusuhan Maluku tahun 1999-2002, Ambon: Keuskupan Amboina.

Coser, Lewis A. and Rosenberg, Bernard. 1976. Sociological Theory (Fourth Edition). USA: Macmillan Publishing Co., Inc.

Chambers, Robert. 1983. Rural Development: Putting the Last First. London: Longman Inc.

Dahrendorf, Ralf. 1986. Konflik Dan Konflik Dalam Masyarakat Industri (Sebuah Analisa Kritik). Terjemahan Ali Mandan dari judul aslinya: Class and Class Conflict in Industrial Society. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali

Depsos RI 1995 Pembangunan Kesejahteraan Sosial Di Indonesia. Jakarta: Terbitan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Depsos RI.

Effendi Johan, dkk. 1999 Sistem Siaga Dini (Untuk Kerusuhan Sosial). Jakarta: Terbitan Balitbang Agama Depag RI dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta

Parsons, Talcott, 1986 Fungsionalisme Imperatrif (Ringkasan Soerjono Soekanto). Jakarta: Penerbit CV. Rajawali

Rusmin Tumanggor, Dkk. 2000. Kerukunan Hidup Dalam Konsepsi Berbagai Etnis Di DKI Jakarta. Jakarta: Hasil Penelitian LEMLIT IAIN Syahid Kerjasama dengan Bakor Bappeda DKI Jakarta..

Suparlan, Parsudi 1999 Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan. Jakarta: (Jurnal Antropologi Indonesis Th. XXIII, No. 58 Januari-April 1999).

The Causes of the Korean War, 1950-1953

Ohn Chang-Il

Korea Military Academy

LATAR BELAKANG

Penyebab terjadinya konflik antara korea utara dan selatan dapat diperiksa dalam dua kategori, ideologi dan politik. Ideologis, pihak komunis, termasuk Uni Soviet, Cina, dan Korea Utara, yang diinginkan untuk mengamankan semenanjung Korea dan menggabungkannya dalam blok komunis. Politik, Uni Soviet dianggap semenanjung Korea dalam terang Polandia di Eropa Timur-sebagai batu loncatan untuk menyerang Rusia dan menyatakan bahwa pemerintah Korea harus "setia" ke Uni Soviet. Karena postur ini kebijakan dan strategis, pemerintah militer Soviet di Korea Utara (1945-1948) menolak setiap gagasan untuk mendirikan satu Korea pemerintah di bawah bimbingan Perserikatan Bangsa-Bangsa. perang ini juga sering disebut The Forgotten War ("perang yang terlupakan") dan The Unknown War ("perang yang tidak diketahui"). Amerika Serikat dan Soviet membuat perjanjian untuk membagi Korea menjadi dua, tanpa melibatkan pihak Korea. Sekutu secara sepihak memutuskan untuk membagi Korea tanpa melakukan konsultasi dengan pihak Korea sendiri.

Karena Korea Utara menyerang Korea Selatan dengan keyakinan bahwa mereka dapat memenangkan perang dan Komunis seluruh Semenanjung korea. kepercayaan Korea Utara untuk memenangkan pertempuran melawan Selatan tidak didasarkan pada harapan tapi pada keyakinan yang tinggi bahwa Utara pasukan Korea mampu mengamankan kemenangan mudah dalam perang. Bahkan, Korea Utara pasukan jauh lebih unggul dengan mereka yang Selatan di semua mungkin kategori kemampuan pertempuran dan kemampuan. Mereka bersenjata lengkap dengan senjata berat dan peralatan dipasok oleh Soviet Uni, juga dilatih oleh bijaksana bimbingan pendidikan militer Soviet dan pelatihan penasihat, sangat diperkuat dengan tentara Korea dan memerangi kepemimpinan, baik matang dalam Perang Saudara Cina (1927-1949) periode, dan diberi terkoordinasi melawan rencana disusun oleh Soviet militer perang-perencanaan penasihat. Setelah dinilai dari fakta-fakta, Utara Korea dan sponsornya, Uni Soviet dan Komunis Cina, mengantisipasi kemenangan mudah atas Korea Selatan, dengan ketentuan bahwa Amerika Serikat tidak campur tangan dengan pasukan korea selatan.

RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa Korea menjadi negara yang terpecah ?

2. Apa peran Amerika Serikat dan Uni Soviet bermain di kursus memiliki dua Korea pemerintah yang didirikan di Korea, dan, dengan asumsi bahwa kedua bagian Korea adalah sama di hampir semua arena termasuk militer setelah Perang Pasifik (1941-1945)?

METODE PENELITIAN

Berdasarkan jurnal yang bersangkutan, pengambilan data dilakukan dengan melihat bukti-bukti terkait/ studi dokumen berupa telegram-telegram, memo, Artikel New York Times, Arsip-arsip rahasia Uni Soviet yang tidak dipublikasikan, Laporan-laporan Kim lI sung ketika kunjungan ke Uni Soviet.

HASIL PENELITIAN

Dari studi dokumen yang dicari oleh peneliti memang dapat dibuktikan dengan telegram-telegram atau pesan-pesan yang dikirimkan oleh pihak korea selatan ke korea utara ataupun sebaliknya pesan atau telegram yang dikirimkan pihak korea utara ke korea selatan ataupun ke pihak-pihak lainnya yang berkaitan. Dari sini dapat dibuktikan bahwa ada kaitannya perang dingin dengan penyebab ataupun pengaruhnya dengan korea selatan dan utara.

Setelah berjuang selama satu tahun, kedua belah pihak dibebaskan pada pandangan bahwa Korea masalah terlalu kompleks untuk diselesaikan dengan cara militer saja. Hasilnya adalah gencatan senjata terhormat, kedua belah pihak masih meninggalkan masih meninggalkan permasalahan yang belum tuntas hingga sekarang, menghasilkan dua pemenang, bukan satu pemenang dan pecundang lainnya. Kesimpulan dari perang dengan cara ini, gencatan senjata-bukan perdamaian, sebenarnya mengatur beberapa tahap pada perang di Korea semenanjung, yaitu, perang subversif, menggunakan semua jenis kekerasan dan damai tampaknya menjadi cara dan sarana, khususnya dengan Korea Utara. Korea Utara, setelah gagal Komunis Korea dengan cara militer, setelah terlibat dalam perang subversive melawan Korea Selatan. Dalam rangka untuk menggulingkan pemerintah Korea Selatan dengan memobilisasi semua tersedia destruktif dan mengganggu, menipu dan langkah-langkah licik dan berarti pasca periode Perang Dingin. Dalam hal ini, Perang Korea tidak benar-benar berakhir. Penyebab mendasar dari Perang Korea masih lingers di semenanjung Korea, peternakan insiden seperti tenggelamnya kapal patroli Cheonan pada tanggal 26 Maret 2010. Tidak diragukan lainnya asimetris serangan terhadap Korea Selatan pada dan di bawah tanah, di laut dan di udara, akan terjadi di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

SWNCC Meeting Minutes, August 12, 1945, in Foreign Relations of the United States [hereafter, FRUS], 1945, vol. 6, p. 645; Memo by Dean Rusk, July 12, 1950, FRUS, 1945, vol. 6, p. 1039; James F. Schnabel, Policy and Direction: The First Year (Washington, D. C.: Government Printing Office, 1972), pp. 8-9.

Memo from the Secretary of the JCS to the SWNCC, August 14, 1945, SWNCC 21-Series, Record Group (RG) 319, ABC 014 Japan (13 April 1944), sec., 1-A, National Archives (NA), Washington, D. C.

Stalin to Truman, telegram, August 16, 1945, enclosed in Memo, From Admiral Leahy to General Marshall, April 29, 1947, RG 59, 740.00119 Control (Japan)/4-2947, NA. President Truman sent this approved General Order No. 1 to the British Prime Minister on August 15, 1945. See Byrnes to Winant, August 16, 1945, RG 59, 740.00119 Pacific War/8-1645, NA.

Soviet Top Secret Documents Relating to the Korean War, 3, pp. 6-10; Stalin’s conversation with the DPRK’s government delegation headed by Kim Il-sung, March 5, 1949, quoted in Bajanov and Bajanova, The Korean Conflict, 1950-1953, pp. 4-6.

Tunkin’s cable to the Kremlin, September 14, 1949, Archives of the President of Russia, pp. 1-8, quoted ibid., pp. 23-4.

Austin to Secretary of State, February 24, 1948, FRUS, 1948, vol. 6, pp. 1128-29; New York Times, February 20, 25, 27, 1948.

IMPLICATIONS OF THE DEMOCRACY-DEVELOPMENT RELATIONSHIP FOR CONFLICT RESOLUTION

Dirk Kotzé

LATAR BELAKANG

Penelitian ini menunjukkan bahwa sehubungan dengan rezim demokrasi, pembangunan ekonomi adalah yang lebih penting daripada faktor variabel warisan politik, agama atau bahasa.
pertumbuhan yang tinggi dan hilangnya penghasilan pribadi berpotensi sebagai ancaman demokratis terhadap konsolidasi dan stabilitas, dan distribusi pendapatan egaliter kondusif untuk daya tahan demokratis. Data dari negara-negara Afrika yang digunakan untuk menguji kesimpulan umum ini. Data ini memenuhi syarat hubungan antara pertumbuhan dan demokrasi, dan menggeser fokus lebih kepada dampak sosial dari seiring berjalannya pertumbuhan pendapatan per seorangan.dan pertumbuhan pembangunan manusia lebih rendah dari pemberitahuan tentang hubungan demokrasi itu sendiri.

Ideologi adalah penyebab konflik sementara dalam demokrasi, ada pandangan yang menyatakan bahwa demokrasi bukanlah jaminan terhadap adanya konflik. Disisi lain demokrasi tidak saling berhubungan satu sama lain terhadap konflik, ada hal lain yang menyebbkan konflik salah satunya adalah factor social-ekonomi, pembangunan sosio-ekonomi dianggap
berupa katalis untuk demokratis, atau konsekuensi dari demokratis.. Dan dalam konteks ‘'Deklarasi Demokrasi, Pemerintahan Politik, Ekonomi’ uni afrika dan kementriannya untuk pemerintahan yang baru untuk Afrika bekerjasama dengan Paket Bank Dunia mmbicarakan tentang persyaratan seperti konsep tata pemerintahan yang baik dan demokratisasi multi-partai, serta penyesuaian struktur ekonomi. Dalam pandangannya,terhadap penyesuaian struktural, atau pengentasan kemiskinan. Sebagai strategi analisis konflik untuk yang terkena dampak kemiskinan dapat berfungsi sebagai cetak biru dalam sosio-ekonomi.

Sebuah Negara predaktor atau suatu negara tanpa kapasitas kelembagaan yang diperlukan seringkali menjadi penyebab konflik. Pandangan tentang keadaan benar dilembagakan menjadi fokus Dunia Bank Dunia Laporan Pembangunan, Negara di Dunia yang Berubah, pada tahun 1997. Banyak penelitian telah dilakukan tentang hubungan antara demokrasi dan pembangunan yang serupa dengan penelitian tentang hubungan antara demokrasi dan pembangunan di satu sisi, dan resolusi konflik di sisi lain, tidak begitu tersedia. Contoh, terkenal praktis dimana tiga serangkai ini korelasi yang dianut, adalah pandangan Swedia Pembangunan Internasional Cooperation Agency (SIDA) pada bantuan kemanusiaan. Salah satu dokumen menyatakan kebijakan (SIDA 1999:1): Program kerjasama pembangunan dapat berkontribusi mencegah konflik bersenjata sebelum mereka keluar dengan bantuan target proyek pembangunan, program untuk penguatan demokrasi dan hak asasi manusia, program kerjasama regional dan mendukung komunikasi antara pihak yang bermusuhan. Dalam hal ini adalah untuk berkonsentrasi terlebih dahulu pada resolusi konflik sebagai Konsep - khususnya berbagai pendekatan yang digunakan, bagaimana mereka mendefinisikan esensi konflik dan apakah demokrasi pengembangan memiliki fungsi mana saja di mereka. Selanjutnya kita meringkas penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan antara demokrasi dan pembangunan. Akhirnya, kita mengintegrasikan analisis kami resolusi konflik dalam penelitian pada demokrasi pengembangan dan menyelidiki logis mungkin korelasi antara mereka. Penelitian ini tidak mencakup investigasi empiris korelasi mungkin antara resolusi konflik dan demokrasi pembangunan. Atas dasar kesimpulan ini kualitatif empiris studi dapat mengikuti kemudian.

METODE PENELITIAN

  1. Behaviouralist dan instrumentalis (pendekatan strukturalis)
  2. Para instrumentalis dan pendekatan intrinsik

CARA PENGUJIAN

Data dari negara-negara Afrika digunakan untuk menguji kesimpulan umum

LANGKAH PENGUJIAN

  1. Sifat resolusi konflik diteliti
  2. Hubungan antara demokrasi dan pembangunan ekonomi diselidiki
  3. Sifat demokrasi dianalisa untuk menentukan bagaimana pembangunan dan resolusi konflik dapat ditampung ke dalam komposisi

HIPOTESIS

  1. Demokratisasi secara langsung dan positif berkorelasi dengan resolusi konflik atau pencegahan
  2. Pembangunan sosial-ekonomi secara langsung dan positif berkorelasi dengan demokrasi
  3. Demokratisasi dan pembangunan sosial-ekonomi memberikan dasar struktural pas untuk menyelesaikan dan mencegah konflik

HASIL PENELITIAN

1. Demokratisasi (termasuk tata pemerintahan yang baik) secara langsung dan positif berkorelasi dengan resolusi konflik atau pencegahan. Kesimpulan dalam hal ini adalah demokrasi yang bukan merupakan konsep generik dan tergantung pada berbagai persepsi publik. Akar penyebab konflik harus dapat sejalan dengan khusus pemahaman demokrasi dalam lingkungan tertentu. Jika akar penyebab adalah tentang diskriminasi politik, tidak adanya kontrak sosial atau pelanggaran hak asasi manusia, sedangkan pemahaman dominan demokrasi adalah prosedural di alam, maka hubungan yang positif dan langsung antara demokratisasi dan resolusi konflik adalah sangat mungkin. Jika akar penyebab adalah tentang identitas hal-hal seperti agama atau asal (misalnya, tentang isi Ivoirité di 6 Pantai Gading) dan demokrasi substantif terutama dalam isi, maka demokrasi adalah kurang mungkin instrumen yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik. Oleh karena itu tepat untuk menyimpulkan bahwa hipotesis pertama ditentukan oleh hubungan kontingen. Kesimpulan ini tidak secara langsung berlaku untuk gagasan 'demokrasi damai': klaim bahwa negara demokratis tidak terlibat dalam konflik dengan satu sama lain. 'Damai Demokratik lebih relevan untuk menjaga perdamaian dengan cara diplomatik daripada untuk membuat perdamaian.

2. Pembangunan sosial-ekonomi secara langsung dan berhubungan positif dengan demokrasi. Penelitian menyimpulkan bahwa rezim-rezim demokratis lebih sensitif terhadap ekonomi pembangunan daripada terhadap dampak warisan politik mereka, agama atau etnolinguistik keragaman atau lingkungan politik internasional. Pertumbuhan ekonomi negara berkembang juga secara langsung dan positif berkorelasi kebebasan. Per kapita penghasilan sangat berkorelasi dengan tingkat stabilitas demokrasi, dan penurunan pendapatan di negara-negara berkembang meningkatkan kemungkinan penurunan demokratis. Mengenai pertumbuhan sebagai variabel, semua studi kasus tidak mendukung positif korelasi dengan pertumbuhan GNP riil per kapita, tetapi menunjukkan bahwa laju pertumbuhan dalam kaitannya dengan tingkat perekonomian pembangunan secara keseluruhan diperhitungkan. Pertumbuhan riil yang relatif rendah tetapi dengan besar, dampak yang nyata pada ekonomi, dapat menyebabkan lebih volatilitas dan ketidakstabilan demokratis dari pertumbuhan yang tinggi dengan sedikit dampak sosial. Perubahan distribusi pendapatan yang terkait dengan ekonomi pertumbuhan dan egalitarianisme tidak mendaftar dampak yang jelas pada demokrasi stabilitas, sehingga menyimpang dari kesimpulan penelitian Moene & Wallerstein's. Indeks pembangunan manusia sebagai indikator kualitas hidup yang lain variabel dengan tidak ada hubungan yang konsisten dengan stabilitas demokratis. Oleh karena itu, contoh Afrika mempertanyakan validitas korelasi teoritis antara demokrasi dan pembangunan ekonomi.

3. Demokratisasi dan pembangunan sosial-ekonomi memberikan dasar struktur yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik yang mengakar atau untuk mencegah konflik. Kesimpulan tentang hipotesis kedua pertanyaan korelasi yang konsisten antara demokrasi dan pembangunan. Oleh karena itu, fungsi mereka saling mendukung sebagai alat untuk menyelesaikan konflik adalah inheren dipertanyakan.

KESIMPULAN

Rezim demokratis durabilitas lebih sensitif terhadap perubahan dalam indikator pembangunan (seperti pertumbuhan, volatilitas atau distribusi pendapatan) dari pada daya tahan rezim non-demokratis. Ekonomi faktor pembangunan juga tidak katalis untuk demokratisasi.

Kesimpulan keseluruhan adalah bahwa baik demokratisasi maupun ekonomi pembangunan, atau kombinasi dari mereka dapat diterapkan dalam semua keadaan untuk resolusi konflik.

DAFTAR PUSTAKA

Bratton, Michael & Mattes, Robert 2001. Support for democracy in Africa: intrinsic or instrumental? British Journal of Political Science. Vol.31 part 3(July).

Brown, Michael E., Lynn-Jones, Sean M. & Miller, Steven E. (eds.) 1996. Debating the Democratic Peace. Cambridge, Mass: The MIT Press.

Deng, Francis M. & Zartman, I. William (eds.) 1991. Conflict Resolution in Africa. Washington, DC: Brookings Institution.

Mattes, Robert, Davids, Yul Derek & Africa, Cherrel. 2000. Views of Democracy in South Africa and the Region: Trends and Comparisons. The Afrobarometer series, No.2. Rondebosch: IDASA for the Southern African Democracy Barometer.

Ohlson, Thomas 1998. Power Politics and Peace Politics: Intra-state Conflict Resolution in Southern Africa. Uppsala: Department of Peace and Conflict Research, Uppsala University.

Quinn, Dennis P. & Woolley, John T. 2001. Democracy and national economic performance: the preference for stability. American Journal of Political Science. 45(3) (July).

Sandole, Dennis J.D. & Van der Merwe, Hugo (eds.) 1993. Conflict Resolution Theory and Practice: Integration and Application. Manchester & New York: Manchester University Press.

SIDA 1999. Strategy for conflict management and peace-building. Stockholm: SIDA (Division for Humanitarian Assistance).

Turkish Daily News (‘‘PM Erdogan says it takes time for economy to digest reforms’), 9 May 2005 (http://www.turkishdailynews.com.tr/article.php?enewsid=12806).